Rabu, 10 Oktober 2012

Kata Ulang (Reduplikasi)

Kata ulang adalah bentuk dasar yang diulang. Bentuk dasar adalah suatu bentuk linguistik yang dijadikan dasar pembentukan kata ulang ( bentuk yang lebih besar atau bentuk kata sebelum dijadikan kata ulang).
Bentuk dasar kata ulang ada yang dapat ditentukan dengan cepat dan mudah, tetapi ada pula yang tidak mudah ditentukan. Ada pula kata yang berbentuk seperti kata ulang, tetapi sebetulnya bukan kata ulang karena tidak mempunyai bentuk dasar. Misalnya, kata masing-masing dan mudah-mudahan.

Prinsip-prinsip Pengulangan
1. Pengulangan tidak mengubah golongan (kelas) kata, dari bentuk dasar kata ulang, seperti kata benda, kata kerja, dan kata sifat.
Contoh :
    a. Kata benda : sepatu-sepatu ( sepatu), bungkusan-bungkusan ( bungkusan ), buah-buahan ( buah), dan  pakaian-pakaian ( pakaian )
    b. Kata kerja : berkejar-kejar ( berkejaran), mencabut-cabuti ( mencabuti), tertegun-tegun ( tertegun)
    c. Kata sifat : bagus-bagus (bagus), nakal-nakal (nakal), seburuk-buruknya (buruk), dan keputih-putihan   (putih).
2. Bentuk dasar selalu berupa bentuk yang terdapat dalam penggunaan bahasa sehari-hari.
Contoh : 
   a. Memperbincang-bincangkan : bentuk dasarnya memperbincangkan, bukan memperbincang
   b. bersalam-salaman : bentuk dasarnya bersalaman, bukan bersalam
   c. rumah-rumahan : bentuk dasarnya rumah, bukan rumahan

Berdasarkan jenisnya, kata ulang terbagi menjadi empat jenis.
1. Pengulangan Utuh (Dwilingga)
    Contoh : lampu-lampu (lampu), pertokoan-pertokoan (pertokoan), kekerasan-kekerasan (kekerasan), dan goncangan-goncangan (goncangan)
2. Pengulangan sebagian (Dwipurwa)
    Contoh : bercaci-cacian (bercacian), menendang-nendang (menendang), minum-minuman (minuman), dan tunjuk-tunjukan( menunjuk)
3. Pengulangan berimbuhan
    Contoh : mobil-mobilan (mobil), sebesar-besarnya ( besar), kemerah-merahan (merah), dan gunung-gemunung (gunung)
4. Pengulangan dengan perubahan fonem (berubah bunyi vokal atau konsonan)
   Contoh : warna-warni (warna), sayur-mayur( sayur), bolak-balik (balik), dan kerlap-kerlip(kerlip)

Kata ulang dapat menyatakan beberapa makna. Berikut adalah makna-makna yang terdapat dalam kata ulang.
1. Menyatakan banyak contoh pemain-pemain, buku-buku, meja-meja
2. Menyatakan bermacam-macam contoh sayur-sayuran, buah-buahan
3. Menyatakan saling contoh berpeluk-pelukan, bersalam-salaman, tikam-menikam
4. Menyatakan perbuatan yang dilakukan hanya untuk kesenangan contoh duduk-duduk, makan-makan
5. Menyatakan menyerupai contoh raket-raketan, 
6. Menyatakan agak contoh kemerah-merahan
7. Menyatakan melakukan perbuatan yang berulang-ulang contoh melempar-lempar
8. Menyatakan kolektif contoh dua-dua
9. Menyatakan memiliki sifat contoh keibu-ibuan
10. Menyatakan sangat contoh cepat-cepat
11. Menyatakan tingkat yang paling tinggi contoh sekencang-kencangnya

Rujukan
Tika Hatikah, dkk. 2007. Membina Kompetensi Berbahasa dan Bersastra Indonesia. Bandung: Grafindo Media Pratama.

Selasa, 09 Oktober 2012

Pendekatan dalam kajian sastra.



Sebelum kita melakukan pendekatan dalam mengkaji karya sastra kita harus mengetahui terlebih dahulu definisi dari pendekatan sastra itu sendiri.

Sekarang kita cari tahu apa itu pendekatan. Secara etimologis, pendekatan berasal dari kata appropio atau approach, yang artinya sebagai jalan atau penghampiran. Jadi pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri suatu objek. 

Sedangkan definisi sastra menurut konteks kebudayaan adalah ekspresi gagasan dan perasaan manusia. Yang dapat juga diartikan sebagai bentuk upaya manusia untuk mengungkapkan gagasannya melalui bahasa yang lahir dari perasaan dan pemikirannya.
Jadi pendekatan sastra adalah cara-cara yang dilakukan oleh seorang penelaah untuk mengkaji sebuah karya sastra, agar dapat memahaminya.

Mengapa diperlukan pendekatan sastra ?
a) Karena Ragam sastra sangat banyak dan berkembang secara dinamis. Kondisi-kondisi perkembangan tersebut memerlukan cara pemahaman yang berbeda-beda.
b)    Kesulitan dalam memahami gejala sastra memicu para ilmuwan untuk menemukan berbagai cara sebagai pendekatan yang baru. Dengan kata lain, gejala sastra memunculkan hadirnya sejumlah masalah yang baru yang menarik dan perlu dipecahkan).

Jenis-jenis Pendekatan
1.     Pendekatan Ekspresif
Adalah pendekatan dalam kajian sastra yang menitikberatkan kajianya pada ekspresi perasaan atau tempramen penulis (Abrams, 1981: 189).  Maksudnya pendekatan yang memfokuskan perhatiannya pada  sastrawan sebagai pencipta atau pengarang karya sastra, ide, gagasan, emosi, pengalaman lahir batin. Informasi tentang penulis ini  memiliki peranan yang sangat penting dalam kajian dan apresiasi sastra. Penilaian terhadap karya seni ditekankan pada keaslian dan kebaruan (Teew, 1984: 163-165).
Abrams menjelaskan: “Telaah pada teori ekspresif memandang suatu karya seni secara esensial sebagai dunia internal (pengarang) yang terungkap sehingga menjadi dunia eksternal (berupa karya seni); perwujudannya melalui proses kreatif, dengan titik tolak dorongan perasaan pengarang; dan hasilnya adalah kombinasi antara persepsi, pikiran dan perasaan pengarangnya. Sumber utama dan pokok masalah suatu novel, misalnya, adalah sifat-sifat dan tindakan-tindakan yang berasal dari pemikiran pengarangnya”
Disisi lain Rohrberger dan Woods (1971:8) memandang pendekatan ekspresif ini sebagai pendekatan biografis. “Pendekatan biografis menyarankan pada perlunya suatu apresiasi terhadap gagasan-gagasan dan kepribadian pengarang untuk memahami obyek literer. Atas dasar pendekatan ini, karya seni dipandang sebagai refleksi kepribadian pengarang, yang atas dasar pengalaman estetis pembaca dapat menangkap kesadaran pengarangnya; dan yang setidak-tidaknya.sebagian respon pembaca mengarah kepada kepribadian pengarangnya. Dengan pendekatan ekspresif penelaah hendaknya mempelajari pengetahuan tentang pribadi pengarang guna memahami karya seninya”.  Telaah dengan pendekatan ekspresif dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pengarang dalam mengungkapkan gagasan-gagasan, imajinasi, spontatanitasnya dan sebagainya.
Dengan demikian secara konseptual dan metodologis dapat diketahui bahwa pendekatan ekspresif menempatkan karya sastra sebagai: (1) wujud ekspresi pengarang, (2) produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya, (3) produk pandangan dunia pengarang. 

Kelemahan : cenderung menyamakan secara langsung realitas yang ada dalam karya sastra dengan realitas yang dialami sastrawan atau pengarang. 


2. Pendekatan Objektif (Instrinsik)


Pendekatan objektif merupakan suatu pendekatan yang hanya menyelidiki karya sastra itu sendiri tanpa menghubungkan dengan hal-hal di luar karya sastra. Menurut Goldmann studi karya sastra harus dimulai dengan analisis struktur, diantaranya menganalisis struktur kemaknaan yang dapat mewakili pandangan dunia penulis, tidak sebagai individu, tetapi sebagai struktur mental transindividu dari sebuah kelompok sosial atau wakil golongan masyarakatnya. Atas dasar pandangan dunia penulis, peneliti karya sastra dapat membandingkan dengan data-data dan anlisis keadaan sosisal masyarakat bersangkutan.
Abrams dalam bukunya The Mirror and The Lamp, yaitu “Telaah karya sastra dengan pendekatan obyektif sering dikenal dengan telaah struktural, yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan tema, peristiwa, tokoh, alur, setting, sudut pandangan, diksi yang terdapat dalam karya sastra”
Konsep dasar pendekatan ini adalah karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari bermacam-macam unsur pembentuk struktur. Antara unsur-unsur pembentuknya ada jalinan erat (koherensi). Tiap unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya melainkan maknanya ditentukan oleh hubungan dengan unsur-unsur lain yang terlibat dalam sebuah situasi. Makna unsur-unsur karya sasatra itu hanya dapat dipahami sepenuhnya atas dasar tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra.
Secara metodologis, pendekatan ini bertujuan melihat karya sastra sebagai sebuah sistem dan nilai yang diberikan kepada sistem itu amat bergantung kepada nilai komponen-komponen yang ikut terlibat di dalamnya. 
Kelemahan: menolak unsur-unsur ekstrinsik dalam karya sastra seperti aspek historis, sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lainnya, termasuk biografi. Oleh karena itulah, pendekatan objektif juga disebut analisis otonomi.
3. Pendekatan Mimetik
Pendekatan yang berupaya memahami hubungan karya sastra dengan realitas/kenyataan (berasal dari kata mimesis (bahasa Yunani) yang berarti tiruan). Realitas: sosial, budaya, politik.
Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitik beratkan kajianya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra(Abrams, 1981: 189). Maksudnya dengan lingkungan sosial-budaya yang melatar belakangi lahirnya karya sastra itu.  Kenyataan manusia dalam kehidupan sehari-hari adalah kenyataan yang telah ditafsirkan sebelumnya dan yang dialaminya secara subjektif sebagai dunia yang bermakna dan kohern. Hubungan antara seni dan kenyataan merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung, yang ditentukan oleh konvensi bahasa, konvensi sosio-budaya, dan konvensi sastra. (Teew, 1984: 224-229).
 “pendekatan ini memandang seni sebagai tiruan dari aspek-aspek realitas, dari gagasan-gagasan eksternal dan abadi, dari pola-pola bunyi, pandangan, gerakan, atau bentuk yang muncul secara terus menerus dan tidak pernah berubah” (Lewis, 1976:46).
Rohrberger dan Woods, 1971:9 memandang pendekatan mimetik sebagai pendekatan historis-sosiologis. Katanya: “pendekatan sosiologis-historis menyarankan kepada pendekatan yang menempatkan karya yang sebenarnya dalam hubungannya dengan peradaban yang menghasilkannya. Peradaban di sini dapat didefisikan sebagai sikap-sikap dan tindakan-tindakan kelompok masyarakat tertentu dan memperlihatkan bahwa sastra mewadahi sikap-sikap dan tindakan-tindakan mereka sebagai persolan pokoknya”.
Dalam mengimplementasikan pendekatan di atas, penelaah pertama memahami suatu karya atas dasar teks tertulis; kedua dia memandang teks tertulis itu sebagai pengungkapan pengalaman, perasaan, imajinasi, persepsi, sikap dan sebagainya; dan kedua dia menghubungkannya dengan realitas yang terjadi di masyarakatnya.
Dilihat dari sudut pandang penciptaan atau kepengarangan, dapat dikatakan bahwa karya sastra tidak dapat dilepaskan dari sang pengarangnya. Dalam kaitan ini, dalam proses kepengarangan, sang pengarang itu tentu tidak asal mengarang atau menulis karya sastra; dia tentu terlebih dahulu melakukan observasi dan lalu melakukan komtemplasi (perenungan) atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakatnya. Melalui proses observasi dan komtemplasi, dia melakukan imajinasi dakam rangka untuk menciptakan karya sastra (berkreasi). Melalui proses-proses itu maka terwujudlah suatu karya sastra. Karena karya sastra banyak berkait dengan persoalan-persoalan kemanusiaan, maka untuk dapat memahaminya kita perlu mengkaitkannya dengan bidang-bidang atau disiplin-disiplin sosial/ humaniora lainnya. Pemahaman dengan cara yang demikian mengacu kepada pemahaman karya sastra secara interdisipliner.
Melalui penjabaran di atas, dapat diketahui secara konseptual dan metodologis bahwa pendekatan mimesis menempatkan karya sastra sebagai:
·         produk peniruan kenyataan yang diwujudkan secara dinamis,
·         representasi kenyataan semesta secara fiksional,
·         produk dinamis yang kenyataan di dalamnya tidak dapat dihadirkan dalam cakupan yang ideal,
·         produk imajinasi yang utama dengan kesadaran tertinggi atas kenyataan.

Kelemahan : sering dilakukan pembandingan langsung antara realitas faktual  (riil) sehingga hakikat karya sastra yang fiktif imajiner sering dilupakan  

4. Pendekatan Pragmatik                      
Pendekatan pragmatik adalah pendekatan kajian sastra yang menitik beratkan kajiannya terhadap peranan pembaca dalam menerima, memahami, dan menghayati karya sastra. Pembaca memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan sebuah karya merupakan karya sastra atau bukan.  Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama maupun tujuan yang lain. Dalam praktiknya pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya (Pradopo, 1994).
Pendapat Horatius yang ditulis dalam bukunya Ars Poetica pada tahun 14 SM menyatakan bahwa tolok ukur sastra ialah utile ‘bermanfaat’ dan dulce ‘nikmat’. Selain itu, ia pun sekaligus mengungkapkan pendekatan sastra yang menitikberatkan pada peran pembaca (pendekatan pragmatik) dalam pendekatan teori Barat, sering dipermasalahkan urutan utile dan dulce itu, mana yang harus didahulukan, ‘bermanfaat’ dahulu baru ‘nikmat’ atau justru sebaliknya ‘nikmat’ dulu baru ‘bermanfaat’ – masalah antara pendekatan moralis (manfaat) dan estetik (nikmat), namun hal ini barangkali lebih tepat disebut perbedaan dalam tekanan (estetik baru tersendiri pada zaman romantik di dunia Barat).
Dalam praktiknya, pendekatan ini mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, agama, maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyak nilai pendidikan moral dan atau agama yang terdapat dalam karya sastra dan berguna bagi pembacanya, makin tinggi nilai karya sastra tersebut.
Di Indonesia pendekatan ini pernah dianut oleh Sutan Takdir Alisyahbana (pada masa Pujangga Baru) yang mengatakan bahwa karya sastra yang baik haruslah yang memberikan manfaat bagi masyarakat, yang kemudian dikenal dengan istilah sastra bertendens (Teeuw 1978). Sejumlah kasus pelanggaran oleh pemerintah dan aparatnya pada masa Orde Baru terhadap karya-karya tertentu untuk dibaca dan dipentaskan di depan masyarakat umum, misalnya beberapa puisi Rendra, Emha Ainun Nadjib, dan drama-drama Riantiarno, juga menunjukkan praktik kritik pragmatik. Sebab dalam pelarangan tersebut menunjukan karya sastra dinilai dalam hubungannya dengan dampak dan pengaruhnya bagi masyarakat.
Penerapan pendekatan pragmatik misalnya memahami karya sastra dalam hubungannya dengan nilai moral, religius, dan pendidikan, seperti tampak pada judul-judul berikut. “Ajaran Moral dalam Novel Sitti Nurbaya”, “Nilai Religiositas dalam puisi-puisi Emha Ainun Nadjib” juga “Nilai Edukatif dalam Novel Salah Asuhan”. Dari judul-judul tersebut akan tampak bahwa dalam membahas dan menilai karya sastra kita kaitkan nilai-nilai pendidikan, etika, dan religius yang terdapat dalam karya sastra yang dapat berguna sebagai contoh atau teladan bagi pembaca. Perkembangan selanjutnya dari kritik sastra pragmatik adalah kritik sastra yang menggunakan pendekatan resepsi sastra dan pada kutipan berikut diuraikan contoh penerapan pendekatan pragmatik yang dilakukan oleh Sutan Takdir Alisyahbana. “Pada hakikatnya Armijn ialah seorang romantikus yang suka mengembara dalam jiwanya, melompat, dengan tiada memperdulikan logika dan kausalitet kejadian...sebenarnyalah yang menarik hati dalam buku Armijn ini ialah permainan peasaan pengarangnya, yang memberikan kepada buku ini suatu suasana romantika...ialah romantik gelap gulita yang berbagai-bagai belenggu yang dimana-mana hendak dikemukakan pengarangnya. Dan kalau buku Armijn Pane ini diletakkan ditengah-tengah usaha dan perjuangan sekarang ini untuk kemajuan bangsa, maka hampir dapat kita memasukkannya dalam lektur defaitistis yang melemahkan semangat, meski betapa sekalipun gembira bunyi kata pendahuluannya”.
Kata pragmatik menjadi sempit maknanya manakala dikaitkan dengan kata praktis, dan dalam permasalahan sastra, amat sulit kiranya jika segala sesuatu harus dikaitkan antara praktis dan pragmatisnya. Akan lain halnya jika kita membaca Supernova karya DEE (Dewi Lestari). Demikian contoh pendekatan pragmatik dalam kajian sastra, yang secara sederhana melukiskan penggunaan praktik berbahasa dan praktik bersastra.

Kelemahan: cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu kepada pembaca


 

Our Linguistik. Design By: SkinCorner