Sebelum
kita melakukan pendekatan dalam mengkaji karya sastra kita harus mengetahui
terlebih dahulu definisi dari pendekatan sastra itu sendiri.
Sekarang
kita cari tahu apa itu pendekatan. Secara etimologis, pendekatan berasal dari kata appropio
atau approach, yang artinya sebagai jalan atau penghampiran. Jadi
pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri suatu objek.
Sedangkan definisi sastra
menurut konteks kebudayaan adalah ekspresi gagasan dan perasaan manusia. Yang dapat juga diartikan sebagai
bentuk upaya manusia untuk mengungkapkan gagasannya melalui bahasa yang lahir
dari perasaan dan pemikirannya.
Jadi pendekatan sastra adalah cara-cara yang dilakukan oleh seorang
penelaah untuk mengkaji sebuah karya sastra, agar dapat memahaminya.
Mengapa diperlukan pendekatan sastra ?
a) Karena Ragam sastra sangat
banyak dan berkembang secara dinamis. Kondisi-kondisi perkembangan tersebut
memerlukan cara pemahaman yang berbeda-beda.
b) Kesulitan dalam memahami gejala
sastra memicu para ilmuwan untuk menemukan berbagai cara sebagai pendekatan
yang baru. Dengan kata lain, gejala sastra memunculkan hadirnya sejumlah
masalah yang baru yang menarik dan perlu dipecahkan).
Jenis-jenis Pendekatan
1.
Pendekatan Ekspresif
Adalah
pendekatan dalam kajian sastra yang menitikberatkan kajianya pada ekspresi
perasaan atau tempramen penulis (Abrams,
1981: 189).
Maksudnya pendekatan yang memfokuskan
perhatiannya pada sastrawan sebagai pencipta atau pengarang karya sastra,
ide, gagasan, emosi, pengalaman lahir batin. Informasi
tentang penulis ini
memiliki peranan yang sangat penting
dalam kajian dan apresiasi sastra. Penilaian terhadap karya seni ditekankan
pada keaslian dan kebaruan (Teew, 1984:
163-165).
Abrams menjelaskan:
“Telaah pada teori ekspresif memandang suatu karya seni secara esensial sebagai
dunia internal (pengarang) yang terungkap sehingga menjadi dunia eksternal
(berupa karya seni); perwujudannya melalui proses kreatif, dengan titik tolak
dorongan perasaan pengarang; dan hasilnya adalah kombinasi antara persepsi,
pikiran dan perasaan pengarangnya. Sumber utama dan pokok masalah suatu novel,
misalnya, adalah sifat-sifat dan tindakan-tindakan yang berasal dari pemikiran
pengarangnya”
Disisi lain Rohrberger dan Woods (1971:8) memandang pendekatan ekspresif ini
sebagai pendekatan biografis. “Pendekatan biografis menyarankan pada perlunya
suatu apresiasi terhadap gagasan-gagasan dan kepribadian pengarang untuk
memahami obyek literer. Atas dasar pendekatan ini, karya seni dipandang sebagai
refleksi kepribadian pengarang, yang atas dasar pengalaman estetis pembaca
dapat menangkap kesadaran pengarangnya; dan yang setidak-tidaknya.sebagian
respon pembaca mengarah kepada kepribadian pengarangnya. Dengan pendekatan
ekspresif penelaah hendaknya mempelajari pengetahuan tentang pribadi pengarang
guna memahami karya seninya”. Telaah
dengan pendekatan ekspresif dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana
keberhasilan pengarang dalam mengungkapkan gagasan-gagasan, imajinasi,
spontatanitasnya dan sebagainya.
Dengan demikian secara konseptual dan metodologis dapat diketahui bahwa
pendekatan ekspresif menempatkan karya sastra sebagai: (1) wujud ekspresi
pengarang, (2) produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-persepsi,
pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya, (3) produk pandangan dunia pengarang.
Kelemahan
: cenderung menyamakan secara langsung realitas yang ada dalam karya sastra
dengan realitas yang dialami sastrawan atau pengarang.
2. Pendekatan Objektif (Instrinsik)
Pendekatan objektif merupakan
suatu pendekatan yang hanya menyelidiki karya sastra itu sendiri tanpa
menghubungkan dengan hal-hal di luar karya sastra. Menurut Goldmann
studi karya sastra harus dimulai dengan analisis struktur, diantaranya
menganalisis struktur kemaknaan yang dapat mewakili pandangan dunia penulis,
tidak sebagai individu, tetapi sebagai struktur mental transindividu dari
sebuah kelompok sosial atau wakil golongan masyarakatnya. Atas dasar pandangan
dunia penulis, peneliti karya sastra dapat membandingkan dengan data-data dan
anlisis keadaan sosisal masyarakat bersangkutan.
Abrams dalam bukunya The Mirror and The
Lamp, yaitu “Telaah karya sastra dengan pendekatan obyektif sering dikenal
dengan telaah struktural, yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan tema,
peristiwa, tokoh, alur, setting, sudut pandangan, diksi yang terdapat dalam
karya sastra”
Konsep dasar pendekatan ini adalah karya sastra merupakan sebuah
struktur yang terdiri dari bermacam-macam unsur pembentuk struktur. Antara
unsur-unsur pembentuknya ada jalinan erat (koherensi). Tiap unsur tidak
mempunyai makna dengan sendirinya melainkan maknanya ditentukan oleh hubungan
dengan unsur-unsur lain yang terlibat dalam sebuah situasi. Makna unsur-unsur
karya sasatra itu hanya dapat dipahami sepenuhnya atas dasar tempat dan fungsi
unsur itu dalam keseluruhan karya sastra.
Secara metodologis, pendekatan ini bertujuan melihat karya sastra
sebagai sebuah sistem dan nilai yang diberikan kepada sistem itu amat bergantung
kepada nilai komponen-komponen yang ikut terlibat di dalamnya.
Kelemahan: menolak
unsur-unsur ekstrinsik dalam karya sastra seperti aspek historis, sosiologis, politis, dan unsur-unsur
sosiokultural lainnya, termasuk biografi. Oleh karena itulah, pendekatan
objektif juga disebut analisis otonomi.
3. Pendekatan Mimetik
Pendekatan yang berupaya memahami
hubungan karya sastra dengan realitas/kenyataan (berasal dari kata mimesis
(bahasa Yunani) yang berarti tiruan). Realitas: sosial, budaya, politik.
Pendekatan mimetik adalah
pendekatan kajian sastra yang menitik beratkan kajianya terhadap hubungan karya
sastra dengan kenyataan di luar karya sastra(Abrams,
1981: 189). Maksudnya
dengan lingkungan sosial-budaya yang melatar belakangi lahirnya karya sastra
itu. Kenyataan manusia dalam kehidupan sehari-hari adalah kenyataan yang telah
ditafsirkan sebelumnya dan yang dialaminya secara subjektif sebagai dunia yang
bermakna dan kohern. Hubungan antara seni dan kenyataan merupakan interaksi
yang kompleks dan tak langsung, yang ditentukan oleh konvensi bahasa, konvensi
sosio-budaya, dan konvensi sastra. (Teew,
1984: 224-229).
“pendekatan ini memandang seni sebagai
tiruan dari aspek-aspek realitas, dari gagasan-gagasan eksternal dan abadi,
dari pola-pola bunyi, pandangan, gerakan, atau bentuk yang muncul secara terus
menerus dan tidak pernah berubah” (Lewis,
1976:46).
Rohrberger dan Woods, 1971:9 memandang
pendekatan mimetik sebagai pendekatan historis-sosiologis. Katanya: “pendekatan
sosiologis-historis menyarankan kepada pendekatan yang menempatkan karya yang
sebenarnya dalam hubungannya dengan peradaban yang menghasilkannya. Peradaban
di sini dapat didefisikan sebagai sikap-sikap dan tindakan-tindakan kelompok
masyarakat tertentu dan memperlihatkan bahwa sastra mewadahi sikap-sikap dan
tindakan-tindakan mereka sebagai persolan pokoknya”.
Dalam mengimplementasikan pendekatan di
atas, penelaah pertama memahami suatu karya atas dasar teks tertulis; kedua dia
memandang teks tertulis itu sebagai pengungkapan pengalaman, perasaan,
imajinasi, persepsi, sikap dan sebagainya; dan kedua dia menghubungkannya
dengan realitas yang terjadi di masyarakatnya.
Dilihat dari sudut pandang penciptaan
atau kepengarangan, dapat dikatakan bahwa karya sastra tidak dapat dilepaskan
dari sang pengarangnya. Dalam kaitan ini, dalam proses kepengarangan, sang
pengarang itu tentu tidak asal mengarang atau menulis karya sastra; dia tentu
terlebih dahulu melakukan observasi dan lalu melakukan komtemplasi (perenungan)
atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakatnya. Melalui proses
observasi dan komtemplasi, dia melakukan imajinasi dakam rangka untuk
menciptakan karya sastra (berkreasi). Melalui proses-proses itu maka terwujudlah
suatu karya sastra. Karena karya sastra banyak berkait dengan
persoalan-persoalan kemanusiaan, maka untuk dapat memahaminya kita perlu
mengkaitkannya dengan bidang-bidang atau disiplin-disiplin sosial/ humaniora
lainnya. Pemahaman dengan cara yang demikian mengacu kepada pemahaman karya sastra
secara interdisipliner.
Melalui penjabaran di atas, dapat diketahui secara konseptual dan
metodologis bahwa pendekatan mimesis menempatkan karya sastra sebagai:
·
produk peniruan kenyataan yang diwujudkan secara dinamis,
·
representasi kenyataan semesta secara fiksional,
·
produk dinamis yang kenyataan di dalamnya tidak dapat dihadirkan dalam
cakupan yang ideal,
·
produk imajinasi yang utama dengan kesadaran tertinggi atas kenyataan.
Kelemahan
: sering dilakukan pembandingan langsung antara realitas faktual (riil)
sehingga hakikat karya sastra yang fiktif imajiner sering dilupakan
4. Pendekatan Pragmatik
Pendekatan pragmatik adalah
pendekatan kajian sastra yang menitik beratkan kajiannya terhadap peranan pembaca dalam
menerima, memahami, dan menghayati karya sastra. Pembaca memiliki peranan yang
sangat penting dalam menentukan sebuah karya merupakan karya sastra atau bukan. Pendekatan
pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk
menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut
dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama maupun tujuan yang lain.
Dalam praktiknya pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut
keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya (Pradopo, 1994).
Pendapat Horatius yang ditulis dalam
bukunya Ars Poetica pada tahun 14 SM menyatakan bahwa tolok ukur sastra ialah
utile ‘bermanfaat’ dan dulce ‘nikmat’. Selain itu, ia pun sekaligus
mengungkapkan pendekatan sastra yang menitikberatkan pada peran pembaca
(pendekatan pragmatik) dalam pendekatan teori Barat, sering dipermasalahkan
urutan utile dan dulce itu, mana yang harus didahulukan, ‘bermanfaat’ dahulu
baru ‘nikmat’ atau justru sebaliknya ‘nikmat’ dulu baru ‘bermanfaat’ – masalah
antara pendekatan moralis (manfaat) dan estetik (nikmat), namun hal ini
barangkali lebih tepat disebut perbedaan dalam tekanan (estetik baru tersendiri
pada zaman romantik di dunia Barat).
Dalam praktiknya, pendekatan ini
mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan
pendidikan (ajaran) moral, agama, maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyak
nilai pendidikan moral dan atau agama yang terdapat dalam karya sastra dan
berguna bagi pembacanya, makin tinggi nilai karya sastra tersebut.
Di Indonesia pendekatan ini pernah
dianut oleh Sutan Takdir Alisyahbana (pada masa Pujangga Baru) yang mengatakan
bahwa karya sastra yang baik haruslah yang memberikan manfaat bagi masyarakat,
yang kemudian dikenal dengan istilah sastra bertendens (Teeuw 1978). Sejumlah
kasus pelanggaran oleh pemerintah dan aparatnya pada masa Orde Baru terhadap
karya-karya tertentu untuk dibaca dan dipentaskan di depan masyarakat umum,
misalnya beberapa puisi Rendra, Emha Ainun Nadjib, dan drama-drama Riantiarno,
juga menunjukkan praktik kritik pragmatik. Sebab dalam pelarangan tersebut
menunjukan karya sastra dinilai dalam hubungannya dengan dampak dan pengaruhnya
bagi masyarakat.
Penerapan pendekatan pragmatik misalnya
memahami karya sastra dalam hubungannya dengan nilai moral, religius, dan
pendidikan, seperti tampak pada judul-judul berikut. “Ajaran Moral dalam Novel
Sitti Nurbaya”, “Nilai Religiositas dalam puisi-puisi Emha Ainun Nadjib” juga
“Nilai Edukatif dalam Novel Salah Asuhan”. Dari judul-judul tersebut akan
tampak bahwa dalam membahas dan menilai karya sastra kita kaitkan nilai-nilai
pendidikan, etika, dan religius yang terdapat dalam karya sastra yang dapat
berguna sebagai contoh atau teladan bagi pembaca. Perkembangan selanjutnya dari
kritik sastra pragmatik adalah kritik sastra yang menggunakan pendekatan
resepsi sastra dan pada kutipan berikut diuraikan contoh penerapan pendekatan
pragmatik yang dilakukan oleh Sutan Takdir Alisyahbana. “Pada hakikatnya Armijn
ialah seorang romantikus yang suka mengembara dalam jiwanya, melompat, dengan
tiada memperdulikan logika dan kausalitet kejadian...sebenarnyalah yang menarik
hati dalam buku Armijn ini ialah permainan peasaan pengarangnya, yang
memberikan kepada buku ini suatu suasana romantika...ialah romantik gelap
gulita yang berbagai-bagai belenggu yang dimana-mana hendak dikemukakan
pengarangnya. Dan kalau buku Armijn Pane ini diletakkan ditengah-tengah usaha
dan perjuangan sekarang ini untuk kemajuan bangsa, maka hampir dapat kita
memasukkannya dalam lektur defaitistis yang melemahkan semangat, meski betapa
sekalipun gembira bunyi kata pendahuluannya”.
Kata pragmatik menjadi sempit maknanya
manakala dikaitkan dengan kata praktis, dan dalam permasalahan sastra, amat
sulit kiranya jika segala sesuatu harus dikaitkan antara praktis dan
pragmatisnya. Akan lain halnya jika kita membaca Supernova karya DEE (Dewi
Lestari). Demikian contoh pendekatan pragmatik dalam kajian sastra, yang secara
sederhana melukiskan penggunaan praktik berbahasa dan praktik bersastra.
Kelemahan: cenderung menilai
karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu kepada
pembaca
0 komentar:
Posting Komentar